Belakangan ini, wacana pembelian sebuah pesawat kepresidenan kembali mengemuka. Wacana yang sebenarnya sudah sejak lama tak kunjung juga terealisasi. Pro kontra antara, apakah sebaiknya pesawat kepresidenan disewa saja, atau harus dibeli terus bergulir. Memang, menghitung untung rugi antara menyewa atau membeli sebuah pesawat kepresidenan tidaklah gampang. Namun bila di analogikan, apapun bentuk barang yang ingin dibeli tentunya harus melihat dari segi jangka panjang dan jangka pendeknya.
Secara jangka pendek, sistem sewa tentunya jauh lebih murah dibandingkan membeli. Namun secara jangka panjang tentunya sistem pembelian jauh lebih hemat. Tergantung dari kondisi keuangan. Tentu saja seorang kepala negara membutuhkan sebuah pesawat kepresidenan, karena sebuah pesawat kepresidenan bisa menjadi simbol negara. Ambil contoh pesawat “Air Force One”, pesawat resmi kepresidenan Amerika Serikat, yang menjadi salah satu simbol kuat negara adidaya itu.
Konon dari atas pesawat “Air Force One” seorang presiden Amerika Serikat, bisa bekerja mengendalikan pemerintahan-nya, karena di atas pesawat tersedia kantor presiden, dan alat-alat yang dibutuhkan dalam mengendalikan jalan-nya roda pemerintahan. Pesawat “Air Force One” layaknya seperti Gedung Putih berjalan, yang menjadi simbol negara.
Namun, memang kita tidak bisa membandingkan diri dengan negara seperti Amerika Serikat, yang secara keuangan tidak mempunyai masalah untuk membeli dan mengelola pesawat kepresidenan. Kontroversi pembelian pesawat kepresidenan saat ini menjadi santapan publik. Walau sebenarnya, setiap barang yang hendak dibeli untuk kebutuhan negara sekalipun pasti akan selalu menuai kontroversi terkait dengan anggaran besar yang harus di keluarkan negara.
Masih segar dalam ingatan kita, ketika para menteri kabinet Indonesia bersatu II mendapat jatah mobil dinas baru Toyota Crown Royal Saloon seharga Rp 1,3 Milyar, yang sempat menuai kecaman publik atas pemborosan anggaran negara ketika membeli mobil dinas menteri tersebut. Atau ribut-ribut pembelian laptop anggota DPR-RI, pembelian mobil dinas pejabat daerah, dan lain-lain.
Rencananya sekretariat negara berencana membeli sebuah pesawat kepresidenan jenis Boeing 737-800 seharga US$ 84,5 juta, atau kurang lebih Rp 800 Milyar. Setneg beralasan pembelian pesawat kepresidenan ini akan bisa menghemat anggaran sewa pesawat terbang, untuk keperluan perjalanan dinas Presiden dan Wapres RI setiap tahunnya yang menghabiskan uang negara Rp 180 milyar atau totalnya Rp 900 milyar untuk satu periode pemerintahan. Sehingga anggaran negara untuk menyewa pesawat kepresidenan dari maskapai komersial, bisa dihemat hingga Rp 100 Milyar.
Baiklah, jika memang pembelian pesawat kepresidenan itu memang adalah untuk menghemat pengeluaran negara secara jangka panjang. Saya termasuk orang yang skeptis, terkadang pemerintah untuk hal-hal seperti menyediakan dana talangan untuk menyelamatkan perbankan yang kolaps, gampang saja mengeluarkan uang trilyunan, tapi hasilnya terkadang hanya di nikmati oleh pemilik bank ybs dan kroni-kroninya, yang setelah mendapat dana talangan langsung menghilang tanpa jejak, seperti dalam kasus BLBI beberapa tahun silam.
Pun begitu juga dengan kasus terakhir Bank Century, yang pengucuran dana talangan-nya sebesar Rp 6,7 Trilyun terus menuai polemik di masyarakat. Sementara, mengapa uang negara untuk pembelian pesawat kepresidenan berat sekali untuk dikeluarkan ? toh, pesawat tersebut tidak dibawa pulang oleh Presiden ketika masa jabatan-nya selesai, karena akan dipergunakan oleh Presiden berikutnya, dan akan menjadi aset negara yang bernilai.
Kebutuhan pesawat kepresidenan sendiri, jika dilihat dari sudut finansial memang masih dalam perdebatan. Masalah pesawat kepresidenan itu pernah dibahas sebelumnya. Namun, pembahasan itu menimbulkan pro dan kontra sehingga pembahasannya ditunda. Masyarakat mempertanyakan kepentingan pembelian pesawat kepresidenan tersebut, karena dinilai akan memboroskan anggaran negara.
Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Ganjar Pranowo mengakui komisinya memang sudah menyetujui pembelian pesawat kepresidenan di periode sebelumnya, namun saat itu Komisi memberikan catatan untuk meminta detail pesawat dan hingga kini belum diberikan.
Meski terus dikritik, pemerintah memastikan pengadaan pesawat khusus kepresidenan tetap akan dilanjutkan. Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi menyatakan, program pembelian pesawat kepresidenan tersebut baru akan terealisasi pada 2011 mendatang.
Sementara itu, bahkan ada pihak yang seakan ingin mengangkat soal pembelian pesawat kepresidenan ini sebagai “dosa” dari pemerintahan Presiden SBY, malah wacana-nya dihubung-hubungkan dengan issue pemakzulan presiden, karena presiden di nilai tidak peka dengan masalah sosial dan ekonomi masyarakat yang sedang terbelit kesulitan, dengan mementingkan pembelian sebuah pesawat kepresidenan. Nampaknya jika pembelian pesawat kepresidenan ini jadi di realisasikan, saya optimis akan “terbentuk” pansus DPR untuk menghakimi pemerintah atas alasan pemborosan anggaran.
Namun terlepas dari masalah keuangan negara, atau issue politik yang timbul dari pembelian pesawat kepresidenan, saya termasuk warga negara Indonesia yang akan sangat bangga jika negara memiliki sebuah pesawat kepresidenan khusus, dengan label “Garuda” lambang negara di ekor pesawat-nya, bukan logo maskapai seperti pesawat yang disewa untuk pesawat kepresidenan selama ini. Dimana dalam setiap penerbangan-nya akan di kawal oleh pesawat tempur.
Tentunya dengan syarat, penggunaan anggaran negara yang transparan dan bisa dipertanggung jawabkan dalam hal pembelian dan pengelolaan-nya, tidak ada mark-up dan kolusi, sehingga kelak suatu saat ketika pesawat kepresidenan “Indonesia One” terbang atau mendarat di bandara di negara-negara dunia, bisa mendatangkan kebanggan bahwa itu adalah pesawat kepresidenan RI yang di hormati sebagai sebuah simbol negara, seperti halnya pesawat kepresidenan Amerika Serikat ”Air Force One” yang sangat di hormati ketika terbang atau mendarat di manapun di dunia.
Saya tidak tahu harga pesawat dan beapra biaya yang habis untuk sewa pesawat demi mendukung aktivitas kepresidenan. Namun, kalau berdasarkan pengalaman pribadi, punya motor sendiri lebih hemat daripada tiap hari naik ojek, juga lebih efektif karena jadwalnya bisa diatur sendiri, tak tergantung penyedia layanan. Kalau memang memiliki pesawat khusus untuk kepresidenan lebih efektif kenapa tidak? Saya melihat argumen DPR sudah masuk akal, melihat efeknya secara jangka panjang.Tentang teleconference, itu memang akan meringkas jarak, efektif. Tapi ada satu elemen yang pudar’ pada teleconference yaitu, emosi, empati, simpati, dll yang berhubungan dengan hati. Bertatap wajah secara langsung dengan ber-tele-conference beda emosionalnya. Mungkin diseimbangkan saja ya, intensitas antara tele-conference dan tatap wajah.