Beranda INSPIRASI

Cerita di Balik Panggung

BERBAGI

Saya kerap mengisi sebagai trainer, narasumber, pemateri dalam berbagai acara pelatihan, workshop, lokakarya dan sejenisnya. Tentu saja tidak terhitung lagi sudah berapa kali saya “tampil” di depan panggung beragam acara yang diselenggarakan di berbagai kota.

Mulai mengisi acara di berbagai perusahaan, kampus, hingga organisasi dan komunitas. Tentu banyak suka dan duka menjadi orang yang berbicara di depan orang banyak, tantangannya juga banyak dan butuh mental kuat menghadapinya.

Sebutlah misalnya, ada panitia yang baru ngabarin malam hari sementara acaranya besok pagi sambil memohon-mohon kesediaan karena narasumber lain yang sudah dijadwalkan mendadak tidak bisa mengisi acara.

Atau panitia yang di akhir acara meminta maaf karena tidak bisa memberikan apa-apa, selain kue atau nasi kotak. Padahal sejatinya saya tidak pernah yang namanya “pasang tarif” seperti motivator-motivator kelas kakap. Ada yang mengundang untuk berbagi ilmu saja, saya sudah sangat bahagia.

Ada juga satu waktu, ketika saya mengisi materi di sebuah workshop yang diselenggarakan sebuah perusahaan BUMN; tiba-tiba Komisaris Utama mereka datang ke acara. Panitia sekonyong-konyong menyuruh saya “ngebut” dan segera menyelesaikan materi karena Pak Komut juga mau bicara di depan peserta workshop katanya. Selesai ngebut, saya dengan halus pun disuruh segera pulang karena semua karyawan termasuk panitia akan mendengarkan pembinaan dari Pak Komut.

Tapi tantangan yang paling terasa adalah menghadapi berbagai jenis audiens. Mulai dari yang bertanya tapi ngawur, misalnya saja dalam suatu workshop tentang mengenali dan melawan hoax dan ada peserta yang bertanya, “Pak.. apakah anda orang yang menemukan hoax..??”. Saya terdiam beberapa saat karena sungguh tak menyangka akan mendapat pertanyaan seperti itu.

Lain waktu, seorang peserta workshop mendebat karena mungkin tak puas dengan jawaban yang saya berikan. Padahal jawaban saya cukup normatif, soal cara menghadapi wartawan berdasarkan pendekatan kode etik jurnalistik.

Mungkin sang peserta yang merupakan humas sebuah perusahaan sudah lelah karena kerap didatangi wartawan pemeras berkedok LSM yang katanya hingga mengancam akan membakar kantor perusahaannya. Saran saya, laporkan ke polisi ketika ada indikasi pemerasan.

“Sudah pernah lapor polisi pak, cuma gak ditanggapi dan pelakunya masih terus mendatangi dan mengancam kantor perusahan kami.. kami bingung bagaimana lagi cara menghadapinya..,” keluh peserta workshop itu.

Nah loh, saya juga bingung bagaimana dong solusinya? Apa harus ngadu ke petugas damkar yang bisa menyelesaikan semua masalah atau ke satpam BCA yang terlatih memberikan solusi nasabah?

Kadang sebagai pemateri kita tak selalu punya jawaban atau solusi atas pertanyaan audiens, karena memang sebagai manusia kita pasti punya keterbatasan baik pengetahuan mau pun pengalaman dan itu biasanya saya sampaikan disclaimer di awal.

Saya akan menyampaikan berdasarkan apa yang saya ketahui dan pengalaman yang mungkin berguna. Kalau ada pertanyaan di luar apa yang saya ketahui dan alami, tentu saja saya tidak bisa menjawabnya.

Pertanyaan-pertanyaan absurd dan di luar nalar juga kadang harus siap dihadapi, walau banyak juga yang memberikan pertanyaan karena berbagai sebab. Ada yang bertanya karena tidak tahu, ada yang bertanya karena untuk menguji, dan ada yang bertanya sebagai perbandingan atau memperoleh pendapat lain.

Tingkah polah audiens juga harus bisa kita sinergikan dengan materi yang dibawakan. Ada audiens yang gampang masuk ke dalam penjelasan yang diberikan. Ada juga yang malah asyik ngobrol dengan orang-orang di sekelilingnya dan cenderung tak peduli dengan materi yang dibawakan.

Usut punya usut, ternyata mereka datang mengikuti acara bukan untuk menimba ilmu tapi sekadar mengharapkan uang transport atau perdiem dari panitia acara. Tapi tipe audiens begini belum ada apa-apanya ketimbang yang dengan santai merokok di dalam ruangan meeting hotel yang berpendingin udara.

Yang paling mendebarkan, adalah ketika memberikan materi di depan orang-orang yang lebih senior dari diri kita. Salah penyampaian sedikit saja akan berabe, karena mungkin pengalaman dan jam terbang mereka sudah lebih tinggi. Lebih baik amannya, memuji mereka di awal acara.

Bak ucapan tukang obat di jalanan, yang pasti selalu menyampaikan disclaimer “saya hanya sekadar mencari makan, mohon jangan diganggu bagi yang berilmu lebih tinggi”. Karena biasanya akan selalu ada audiens yang akan mencoba menguji pengetahuannya dengan pengetahuan sang narasumber.

Parameternya adalah waktu, jika jam terasa berjalan sangat lambat walau pun kita sudah berbicara berbuih-buih maka anggap saja seperti sedang menjalani ujian SIM yang konon katanya Valentino Rossi saja tak mungkin lulus. Jika waktu terasa cepat berlalu, bahkan hingga habis waktu peserta masih betah di ruangan berarti mungkin saja Valentino Rossi sudah berhasil lulus ujian SIM tanpa calo.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here